Membaca cerita di Blog Ibu Kiki Barkiah ‘’Hati-hati dengan
anak yang penurut’’ menginspirasi saya untuk menulis tentang cerita yang mirip.
Anak kedua kami Mba Alya termasuk anak yang penurut anteng, mandiri, tidak
pernah merepotkan orang tua sejak dalam kandungan hingga sekarang.
Pada saat hamil dia, Pak suami sedang studi di negeri kincir
angin, praktis selama kehamilan hanya ditunggui selama dua bulan. Ndilalah
waktu hamil muda pun masa nyidam hanya tiga bulan, dengan kondisi tidak separah
kedua saudaranya. Seperti paham keadaan, Abinya sedang berada nun jauh disana.
Saat melahirkannya tidak ditunggui langsung oleh Abinya,
hanya via telpon itupun sempat terputus sinyal yang tidak baik. Proses
melahirkan yang cukup mudah dan singkat. Saat mau ambil wudhu untuk sholat
Ashar saya pipis terlebih dahulu, ternyata ada bercak darah dan cairan bening.
Saya paham itu tanda mau melahirkan, karena memang sudah cukup bulan.
Saya diantar ke klinik oleh Kakak dengan sepeda motor. Bu
Bidan yang sudah mengetahui saya mau melahirkan disini menyambut dengan ramah,
dan menyuruh saya berbaring diruang melahirkan, setelah sebelumnya diperiksa.
Saat itu sekitar pukul 16.30 wib.
Alhamdulillah bayi lahir dengan selamat setelah mengalami
proses kontraksi yang hebat. Bayi dengan berat 4 kg, panjang 50 cm, lahir
normal. Pantas saja tadi saat mau keluar badan ini rasanya mau pecah. Lahir pukul 18.45 , hanya butuh waktu kurang dari
tiga jam sejak kedatangan ke klinik sampai lahir. Kami menginap di klinik ini
hanya semalam saja, pagi pukul 7 wib sudah diantarkan pulang dengan mobil
fasilitas klinik ini.
Semasa bayi dia tidak pernah rewel, minum asi juga
sewajarnya. Bahkan mudah disambi mengerjakan tugas rumah tangga dan menjaga
kakaknya yang hanya terpaut 20 bulan. Justru kakaknya yang lebih membutuhkan
perhatian, karena tergolong anak yang aktif dan sering tantrum.
Saat usia tiga tahun,
kakaknya sudah masuk sekolah Taman Kanak-kanak. Pagi waktu antar
kakaknya dia belum bangun. Jam 10 waktu mau jemput kakaknya dia sudah tidur
lagi setelah capek bermain, sedangkan saya sibuk mengerjakan tugas rumah
tangga. Benar-benar anak yang luput dari perhatian.
Usia empat lebih 6 bulan dia masuk Taman Kanak-kanak, di
Jawa, kami baru pindah waktu itu. Otomatis dia masih asing ditempat baru,
sekolah baru, guru baru, lingkungan baru. Saya kira dia akan minta ditunggui di
awal masuk sekolah. Ternyata tidak, dia sudah bisa ditinggal sejak pertama
masuk sekolah. Beda dengan kakaknya butuh waktu dua minggu baru bisa ditinggal.
Itupun harus main petak umpet dulu alias nyumput-nyumput biar tidak ketauan.
Waktu TK B saya setelah terima raport saya menyampaikan
terimakasih kepada Ustadzahnya. Apa jawaban ustadzahnya berkata ‘’Saya tidak
mengajarkan apa-apa lho Bu, Mba Alya itu belajar sendiri kok, saya Cuma mendengarkan
dan menilainya.’’
Ustadzah pasti merendah saja itu, piker saya. Tapi memang
benar sih, selama sekolah TK mba Alya tidak mau diajari, ditemani belajar atau
minta tolong mengerjakan PR maupun hafalan. Dia merasa nyaman belaajr sendiri. Biasanya
saya hanya bercerita menjelang tidur, atau membacakan nyaring, itu pun tidak
rutin. Tahu-tahu dia sudah bisa membaca. Setidaknya tidak sesusah mengajari
kakaknya, waktu belajar membaca.
Begitu pula saat sekolah dasar sampai kelas 4 selalu
menempati peringkat nomer dua. Kami tidak mendewakan peringkat, namun
capaiannya membuktikan bahwa dia tidak susah mengkuti semua pelajaran. Secara
akademik dia mampu. Pola belajarnya masih sama, dia belaajr sendiri, tidak
minta bantuan atau mau dibantu. Istilahnya di apa-apakan sudah bisa sendiri.
Kami hanya cukup memfasilitasi saja.
Secara akademik dia baik-baik saja, tidak ada masalah yang
berarti. Namun sikapnya sekarang sangat berbeda dengan sebelum ya terutama
dengan adiknya. Lebih jutek, mudah marah, kalau adi kebetulan bersalah, maka
marahnya luar biasa. Ada luapan kebencian disana, marahnya tidak wajar, bahkan
untuk hal kecil sekalipun.
Saya terkejut melihat perkembangan emosionalnya, sikapnya
terhadap adik semata wayang yang begitu dia harapkan dulunya.
Masih ingat ketika saya belum hamil dia paling rajin
mengelus perut saya, agar segera ada adik. Dia berdoa supaya saya segera hamil
dan punya adik. Ketika saya hamil dia menjadi anak yang paling bahagia, setiap
ahri dielusnya perut saya, tak sabar menunggu kelahiran adiknya.
Saat adiknya lahir dia sangat antusias ingin segera bertemu,
karena kami masih dirumah sakit. Untunglah anak-anak boleh ikut menginap
dirumah sakit. Dia sennag sekali, dan selalu menunggui adiknya, membelainya.
Dia dan kakaknya memang sama-sama sayang kepada adik
bayinya. Namun dia akan menangis tidak terima kalau kakaknya yang mengambilkan
popok atau benda yang diperlukan adiknya. Mereka berdua berlomba ingin membantu
Ibunya merawat adik bayi. Sebegitunya ya..
Dia memang tumbuh menjadi anak yang mandiri, cekatan, dan rajin
belajar. Saat saya dan pak suami tugas ke Jakarta, anak-anak yang sedang libur
sekolah kami titipkan ke rumah Mbahnya. Dirumah Mbahnya itu dia memimpin kakak
dan adik ya untuk mencuci baju sama-sama, menjemurnya dan mengangkatnya ketika
kering. Padahal saya tidak menyuruh untuk mencuci baju-baju mereka. Saya hanya
berpesan, untuk memasukan baju kotor kedalam wadah khusus, supaya tidak campur
dengan baju bersih. Biar saya yang akan emncucinya ketika pulang dari Jakarta.
Dia juga bersedia menggoreng nugget, sosis, atau bikin mie
untuk kakak, adik dan saudara sepupunya, ketika makan. Itu sesuai pesan saya
kalau menggoreng lauk, jangan hanya untuk diri sendiri, tapi goreng agak banyak
untuk makan sama-sama. Alhamdulillah dia lakukan dengan suka cita.Banyak lagi cerita tentang kemandirian dan kebaikannya.
Kembali dengan sikap kepada adiknya yang berubah, saya tentu
tidak membiarkan hal itu terjadi. Saya ajak dia bicara dari hati kehati. Apa
alasan dia benci dan tidak suka kepada adik. Menurutnya Abi dan Umminya lebih
sayang dan perhatian kepada adik dibanding kepada dirinya. Apa-apa adik,
apa-apa adik.
‘’Ya Allah, apa benar begitu?’’ Tanya kami dalam hati.
Mungkin tanpa kami sadari kami lebih
perhatian kepada adiknya yang masih kecil dan membutuhkan bantuan. Sedangkan
dia yang memang anak mandiri, sejak kecil tidak
banyak meminta bantuan kami. Sehingga kami merasa dia tidak perlu banyak
ditolong karena dia sudah bisa melakukan semua sendiri. Apalgi dia tidak pernah
mengeluh.
Tidak hanya kepada adik saja, dia juga begitu sedih ketika
kakaknya dibelikan Kasur. Maksud kami supaya kakaknya tidur terpisah, karena
sudah mulai besar. Sedangkan dia sudah dibelikan springbed susun, untuknya dan
adiknya. Kami piker itu wajar dan adil, namun tidak baginya. Sepulang sekolah
dia langusng menangis ketika tahu kakaknya dibelikan Kasur. Menangis kencang,
didepan pintu, belum sempat masuk rumah, dan berganti baju. Suaranya kencang,
sampai terdengar tetangga, saya bingung karena tidak mampu menenangkannya.
Setelah tenang dan mau diajak bicara dia mengatakan bahwa
dia sangat sedih dan iri tidak dibelikan Kasur. Dia tidak suka dibelikan bed
yang harus sekamar dengan adiknya, dia mau tidur dikamar sendiri seperti
kakaknya. Ya Allah, kami pikir dia akan terima dan baik-baik saja tidur sekamar
dengan adiknya yang sama-sama perempuan. Ternyata dugaan kami salah, dia merasa
diperlakukan tidak adil, kakaknya boleh tidur dikamar sendiri, Kasur sendiri.
Hemm… anak yang pendiam, tidak banyak omong, selalu nrimo, tidak suka menangis,
sekarang telah berubah.
Dari peristiwa itu kami disadarkan bahwa anak yang
kelihatannya pendiam, mandiri, penurut membutuhkan perhatian dan bantuan dari
kami orang tuanya. Dia butuh dipahami
perasannya, harus didengarkan. Maafkan kami ya Nak, sejaka itu kami lebih
hati-hati bersikap kepada ketiga anak kami. Appaun yang akan kami berikan harus
musyawarah dulu, dibicarakan bersama, agar tidak timbul salah paham, iri hati,
dan kecewa. Apapun harus deal dulu, baru kami beli.
Sebenarnya dia bisa menerima asal diikutkan serta sebelum
melaksanakan rencana. Dimintai pendapatnya, meskipun keputusan tetap ditangan
orang tua. Misalnya adik butuh sepatu hitam baru, karena memang sepatu warna
hitam belum adik punya. Meskipun dia tahu
sepatu itu seragam wajib disekolah adiknya, tanpa memberi pengertia kepadanya,
rasa cemburu dan iri pasti ada.
Sejak itu kami selalu melibatkan dia juga kakak dan adiknya bicara terlebih dahulu sebelum membeli berbagai keperluan. Termasuk membeli keperluan saya dan Pak Suami.