Terinspirasi obrolan di WAG tentang kelapa parut. Sampai sekarang saya masih suka marut kelapa sendiri. Walau kadang beli yang sudah diparut.
Keterampilan memarut kelapa ini saya dapat waktu usia sekolah dasar kalau tidak salah. Waktu itu di desa saya belum ada mesin parutan kelapa. Boro-boro mesin, listrik saja belum masuk desa. Maka segala pekerjaan dikerjakan secara manual, termasuk marut kelapa.
Jadi ketauan kan usia berapa sekarang😄 yang jelas masuk generasi jaman old.
Pada waktu itu setiap anak perempuan sudah diajari marut kelapa. Tepatnya harus turut membantu orang tua, melakukan pekerjaan rumah tangga. Bahkan membantu pekerjaan di ladang.
Sejatinya saya banyak belajar pekerjaan rumah tangga di rumah teman. Sepulang sekolah biasanya main ke rumah teman. Nah teman ini kebetulan mendapat tugas memasak dari orangtuanya. Karena orangtuanya pergi ke ladang.
Saya ikut membantu teman saya itu masak. Jangan dikira masak ala anak zaman now...yang tinggal nyuci beras, terus masukan ke magicom. Ohh...tentu saja tidak!
Kalau mau masak nasi, teman saya itu harus nutu atau numbuk gabah dulu. Jaman dulu mesin gilinh padi belum ada. Saya pernah ikut numbuk padi, sampai tangan melepuh, tapi tak kuhiraukan. Rasanya seneng saja.
Begitupula kalau dapat tugas nyayur, harus manjat kelapa dulu. Ambil kelapa untuk dijadikan santan. Sebekum jadi santan, kelapa harus dikupas pakai golok. Kupas kulit kelapa bagian luar atau sepet. Lalu kupas batok kelapa, dan cungkil daging kelapa. Kakau tidak hati-hati jari bisa kena. Belum selesai sampao disitu,daging kelapa harus diparut dulu secaea manual, baru diperas dan dapatlah santan. Begitu lama proses untuk mendapatkan santan.
Sayuran juga harus ambil dulu di ladang dekat rumah. Kadang minta tetangga, jaman duku itu biasa. Nangka muda, bligo, atau labu..banyak timbuh disekitar rumah. Siapa saja boleh ambil,tidak dijual. Karena tidak laku.
Wah..wah...semangat sekali kalau cerita jaman old. Banyak kisah yang luar biasa, dan tidak bakal ditemui anak zaman now.
***
Setelah menikah, kebiasaan memarut kelapa tetap terjaga. Maka, alat untuk memarut harus selalu tersedia. Bila sewaktu-waktu dibutuhkan sudah siap.
Kenapa masih mempertahankan kebiasaan marut manual? Lebih kepuasan aja mungkin ya. Rasanya marem kalau marut kelapa sendiri. Kebersihan terjamin, karena diri sendiri yang melakukannya.
Kebiasaan waktu kecil tetap terjaga, meskipun zaman sudah berubah. Nah waktu pindah di jawa keterampilan ini berguna. Karena disini saat hajatan, tradisi gotong royong masih lestari. Tetangga ikut membantu memasak, termasuk marut kelapa ramai-ramai.
Mereka heran kok saya bisa marut kelapa. Bahkan ngupas kelapa pun bisa. Hehe...karena sejak kecil itu dunia bermain saya.
***
Bagaimana dengan anak-anak saya? Apakah mereka perlu diajari marut kelapa? Hemm...belum saya ajari. Mungkin nextime. Tapi, kemungkinan besar mereka akan menolak.
Sebenarnya penting juga anak-anak belajar marut kelapa. Meskipun ada mesin ada kalanya tidak berfungsi. Misal tidak ada bahan bakar, atau listrik sedang mati. Atau di warung tidak tersedia kelapa parut.
Kan ada santan instan? Hemm...iya sih. Kalau begitu, itu pilihan ya...
No comments:
Post a Comment